Jumat, 14 Januari 2011

PENYIMPANGAN DALAM TAFSIR

PENYIMPANGAN-PENYIMPANGAN DALAM TAFSIR

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Quran.

Dosen pembimbing: Prof. Dr. Ahsin Sakho Muhammad

Asisten dosen: Bapak Muslih

Disusun Oleh:

Novianti

Ai Popon Fatimah

Eristya Mulyawan

H:\u_i_en\New Logo with Text.jpg

PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010

المقدمة

الحمد لله رب العلمين وبه نستعين على امور الدنيا و الدين, والصلاة والسلام على سيدنا محمد خاتم النبيين

وعلى اله وصحبه اجمعين....اما بعد

قال الله تعالى فى القران الكريم: إن نحن نزلنا ذكر و إن له لحافظون.

قد حفظ الله على القران الكريم ولكن لا في تفسيره. تطورالعلوم يسير اكثر تفسيرالقران. والإنسان يفسرون القران بنفسهم بلا يهتموا قواعده مطلقا. والان يجب علينا ان نخير تفسير الذي يناسب لبلغ على الإجتماعية, حتى لا يجهلهم ولا يفرق بقوم الذي يفتت الإسلام.

A.Pengertian Penyimpangan dalam Penafsiran al Quran

Perkembangan tafsir al Quran dilakukan melalui dua periode yaitu periwayatan dan pembukuan. Dalam perjalanannya tafsir bilma’tsur berakhir dengan dihapusnya isnad-isnad, dan orang mengutipnya dengan menghilangkan sanad-sanad tersebut. selain itu juga tafsir al aqli atau rasional berakhir karena di dominasinya oleh kecenderungan-kecenderungan orang dan madhab teolojik dan madzhab-madzhab lain. Dengan demikian tidak dipungkiri lagi bahwa dengan dihilangkannya isnad-isnad dalam tafsir bilma'tsur dan pengutipan tanpan disebutkan sanad-sanadnya itu memberikan peluang kepada orang untuk berbuat kejahatan, dalam hal ini menyelewengkan apa-apa yang seharusnya tidak terjadi dalam menafsirkan al Quran.

Suyuti menguraikan tiga persyaratan utama bagi mufasir[1]:

1. Mempunyai keimanan kuat dan secara ketat melakukan ibadah, menghindar dari pendapat-pendapat yang salah serta riwayat-riwayat yang meragukan, dan sangat percaya diri pada kitab Allah.

2. Mempunyai tujuan yang baik semata-mata mengabdi kepada Allah.

3. Ahli dalam ilmu-ilmu bahasa arab.

Berkembangnya ilmu pengetahuan menyebabkan banyaknya penafsir Al-quran. Banyak orang yang menafsirkan Al-quran atas dirinya sendiri tanpa menindahkan syarat-syarat mufassir diatas.

B. Sebab Sebab Terjadi Penyimpangan dalam Penafsiran Al Quran

Banyak faktor yang menyebabkan mereka berani untuk melakukan penyelewengan terhadap tafsir al Quran, diantaranya:

1) Kecenderungan mufassir terhadap makna yang diyakininya tanpa melihat petunjuk dan penjelasan yang terkandung dalam lafadz-lafadz al Quran tersebut.

2) Kecenderungan mufassir untuk semata-mata memperhatikan lafadz dan maknanya yang bisa difahanu oleh penutur bahada Arab, tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh yang berbicara dengan al Quran tersebut, yang dibicarakan olehnya dan siyak (konteks) kalimatnya.

3) Adanya ambisi besar dari din individu untuk melakukan penyelewengan tafsir tanpa memperhatika apa yang akan terjadi di kemudian hari.

4) Adanya dorongan dari madzhab atau aliran dengan bermaksud untuk menyembunyian menyembunyikan kerancuan pemikiran mereka dan menonjolkan pemikiran aliran atau madzahbnya sendiri.

Penyebab pokok kekeliruan penafsiran Al-quran dapat ditinjau dari tiga segi[2]:

a. Dari segi Mufassir (pelakunya):

1. Subyektifitas si Mufassir yang bermula dari perbedaan kemampuan, orientasi, sistem berfikir, keyakinan atas kebenaran pendapat atau madzhab yang di anutnya, kepentingan dan keinginannya.

2. Tidak menguasi ilmu alat, seperti nahwu, shorof, dan lain-lain.

Contoh: kekeliruan orientasi menafsirkan QS.Maryam (19): 19

tA$s% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ãAqßu Å7În/u |=ydL{ Å7s9 $VJ»n=äñ $|Å2y ÇÊÒÈ

“Ia (Jibril) berkata: sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhan-Mu, untuk memeberimu seorang anak laki-laki yang suci.”

b. Dari segi materi ( sasarannya):

1. Kurang memperhatikan siapa yang menjadi Mukhattab ayat, untuk ini perlu diperhatikan ayat-ayat sebelumnya.

2. Tidak memperhatikan siapa yang mutakallim yang dibicarakan ayat. Contoh Q.S Yusuf ayat 28.

$£Jn=sù #uäu ¼çm|ÁŠÏJs% £è% `ÏB 9ç/ߊ tA$s% ¼çm¯RÎ) `ÏB £`ä.ÏøŸ2 ( ¨bÎ) £`ä.yøx. ×LìÏàtã ÇËÑÈ

Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia: "Sesungguhnya (kejadian) itu adalah diantara tipu daya kamu, Sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar."

3. Mendahulukan yang mutlaq dari yang muqoyyad.

4. Tidak memperhatikan munasabah ayat.

5. Tidak menguasai masalah yang di tafsirkan.

6. Mendahulukan yang mtasyabih dari yang muhkam.

c. Dari segi produk (hasil karya) para musafir tersebut.

C.Macam-macam penyimpangan dalam tafsir dan contohnya.

1) Penyimpangan dalam Tafsir Historis[3]

Sosio-naratif yang inik dimimiliki oleh Al-Qur’an adalah keringkasan dalam menuturkan kisah-kisah. Al-Qur’an tadak memmerikan perincian jalannya kisah, melainkan hanya memilih fragmen yang berkaitan dengan substansi teme yang berisi perjalanan. Akan tetapi, justru dari sanalah muncul penimpangan-prnyimpangan dalam historis. Para sejarawan yang menulis jenis tafsir ini lupa bahwa penekanan kisah-kisah Al-Qur’an tidak terletak pada jalan ceritanya, tetapi pada aspek pesan moral yang dikandungnya. Dengan demikian adalah suatu penyimpangan ketika kisah-kisah Al-Qur’an ditafsirkan dengan dengan perincian yang tidak substansial.

Penyimpangan dalam tafsir historis lebih jelas lagi ketika tafsir itu dimasuki Israiliyat, yakni legenda–legenda Yahudi dan Nasruni yang masuk ke dalam tafsir. Lebih parah lagi ketika Israiliyat yang dimasukkan ke dalam tafsir masuk dalam kategori maudhu’ (palsu). Menurut Adz-Dzahabi, tafsir Al-Khazin banyak dipenuhi Israiliyat jenis itu, kitab tafsir lain semacam tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Muqatil bin Sulaiman, Ruh Al- Ma’ani, dan Al-Manar pun diduga kuat memuat pula riwayat-riwayat Israiliyat.

Eksistensi Israiliyat dalam tafsir Historis tidak saja merupakan penyimpangan, lebih jauh lagi ia, menuryu Muhammad Syaltut,telah menjauhkan umat islam dari mutiara-mutiara Al-Qur’an. Umpamanya, ketika menjelaskan kisah penyembelihan sapi (Baqarah) oleh Bani Israil, para sejarawan terlena denan cerits-cerita Israiliyat samoai lupa akan pesan moral yang ada di balik kusah tersebut.

2) Penyimpangan dalam Tafsir Teologi[4]

Skismatik aliran-aliran teologi ternyata tidak selamanya membawa rahmat. Pada saat tertentu ia bahkan menjadi salah satu sebab (scap goat) bagi penyimpanga dalam tafsir teologi. Dalam menamenafsirkan Al-Qur’an, kerap kali masing-masing aliran mendistori ayat untuk disesuaikan dengan doktrin madzhab yang dianutnya. Bukan Al-Qur’an dijadikan sumber pelarian bagi perselisihan di antara alirs-aliran teologi, bahkan sebaliknya ia dijadikan sebagai justifikasi bagi madzhabnya masing-masing. Tentu saja hal itu merupakan satu penyimpanyan dalam tafsir teologi.

Untuk mempertahankan diktrin “ketidakmunkinan” Allah dapat dilihat di akhirat kelak,Zmaksyari (tokoh besar Mu’tazilah)”terpaksa” harus melakukan takwil(metefora) terhadap ayat yang jelas-jelas bertentab=ngan dengan doktrin Mu’tazilah. Hasan Al-Asykari, tokoh Syi’ah, mengarakan penafsiran terhadap surat Al-Baqarah [2] : 163 untuk menjustifikasikan doktrin “taqqiyah”. Aliran Khawarij pun tidak ketinggalan menjadikan Al-Qur’an surat Al-Maidah [5] :44 untik mempertahankan doktrinnya bahwa “orang yang fasik adlah kafir”. Ayat-ayat lain disimpangkan oleh kelompok Jabbariyah untuk mempertahankan doktrin “determinismenya”. Begitulah selanjutnya, masing-masing aliran teologi mempunyai andil dalam melakukan penyimpangan-penyimpangan.

3) Penyimpangan dalam Tafsir Sufi

Ciri kehidupan sufi yang eksklusif tidak saja tampak dalam bentuk-bentuk praktek keagamaannya, tetapi lebih jelas tampak dalam bentuk penafsiran-penafsiran Al-Qur’an. Karena keeklusifan inilah, tafsir sufi banyak mendistorsi ayat-ayat Al-Qur’an. Bila menelaah kitab-kitab tafsir tasawuf, baik yang mencorak toeretis (an-nazhari), simbolik (isyari) ataupun limpahan (faidhi), kita akan menemukan berbagai penyimpangan di dalamnya. Pangkal penyimpangan sufi muda ditebak. Para sufi terl;alu “memaksakan” ayat-ayat Al-Qur’an untuk diseleraskan dengan doktrin-doktrin tasawuf.

Ibnu Arabi, sebagaimana pula Abu Yazid Al-Bustami dan Al-Hallaj, cenderung menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk menjustifikasi doktrin “wihdatul wujud” (kesatuan eksistensi). Itulah sebabnya, ketiika menafsirkan ayat 67 dari surat Al-Baqarah , Ibnu Arabi mengatakan bahwa “anak sapi yang disembelih oleh Bani Israil merupakan salah satu manifestasi Allah dan sekaligus dijadikan sebagai tempat bagi-Nya”. Lebih parah lagi ketika menafsirkan ayat 163 surat Al-Baqarah, ia menjelaskan bahwa orang-orang yang menyembah benda selain Allah dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya, sama dengan menymbah Allah juga.

4) Penyimpangan dalam Tafsir Linguistik

Kenyataan yang tidak dapat dibantah adalah Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa arab. Akibatnya, memehami salah satu aspek-aspek bahasa Arab memegang peranan penting termasuk pemahaman tentang pola pembentukan kata dan konjungsi (tashrif)nya, untuk menafsirkan Al-Qur’an. Akan tetapi, pada kenyataannya, ada kelompok orang yang berbicara dan menulis tafsir tanpa berbekalkan pengetahuan bahasa yang memadai. Oleh karena itu, mereka cenderung melakukan penyimpangan dalam tafsir Linguistik yang disebabkan oleh ketidakfahaman terhadap konjungsi, sebagaimana dikutip dalam tafsir Al-Kasysyaf adalah penafsiran terhadap ayat 71 dan 17. Untuk itu, Zamaksyari berkata, “merupakan penyimpangan penafsiran yang paling besar ketika kata “imam” dianggap sebagai pembentuk dari kata “umn”yang berarti “ibu”. Padahal yang benar, bentuk jamak dari kata “umn” itu bukan “imam” melainkan “ummahat.”

5)Penyimpangan dalam Tafsir Ilmi

Klaim penulis Tafsir Ilmi bahwa Al-Qur’an mencakup segala sesuatu, tidak dapat disalahkan. Setidak-tidaknya klaim mereka didukung oleh Al-Qur’an Surat Al-An’amayat 38. Akan tetapi, mereka keliru ketika memperlakukan Al-Qur’an pada buku ilmu pengetahuan, sehingga setiap penemuan ilmu pengetahuan mereka cocok-cocokkan dengan istilah-istilah Al-Qur’an, kendatipun harus melakukan penyimpangan-penyimpangan makna. Betul, surat Al-An’am ayat 38 menyatakan bahwa tak sesuatu pun juga Allah tinggalkan dalam Al-Qur’an, tetapi yang dimaksud oleh ayat itu, adalah bahwa Al-Qur’an berisi prinsip-prinsip umum mengenai segala sesuatu. Dan mengenai perinciannya, manusia diberi otoritas untuk mengembangkankannya.

Thanthawi Jauhari adalah seorang ulama modern yang sangat fanatik terhadap corak tafsir ilmi. Dalam karyanya, Tafsir Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an, ia menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang diduganya berkaitan dengan ilmu pengetahuan dengan teori-teori ilmu pengetahuan yang “in” pada masanya. Karya tafsirnya itu memeng lebih layak dikatakan sebagai buku ilmu pengetahuan ketimbang sebagai buku tafsir, sehingga ada ungkapan ‘di dalamnya terdapat sesuatu, kecuali tafsir itu sendiri.”

6)Penyimpangan dalam Tafsir Modern

Modernisasi dalam Islam merupakan satu keharusan bila islam tidak ingin dikatakan sebagai agama yang out of date. Akan tetapi modernisasi itu harus dilakukan dengan prosedur yang tepat dan proporsional. Ketika Al-Qur’an hanya dijadikan justifikasi bagi isu-isu modern yang nota bene muncul dari luar islam, di sana terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam tafsir modernisasi. Umpamanya, para para pembaharu “terpaksa meniadakan kewajiban hukum potong tangan bagi tindakan kriminal pencurian yang jelas-jelas ada ketentuannya dalam Al-Qur’an.

Daftar Pustaka

Anwar, Rosihon. Pengantar Ulumul Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Buchori, Didin saefudin. Pedoman memahami Kandungan Al-Qur’an, Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005.

Ayub, Mahmud. Qur’an dan Para Penafsirnya, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.



[1] Dr. Mahmud Ayub, Qur’an dan para penafsirannya. Hal :25

[2] Didin Saefudin Bukhori, Pedoman Memahami kandungan Al-Qur’an hal:190

3.Anwar, Rosihon, Pengantar Ulumul Quran. Pustaka setia, Bandung, 2009. Hal, 196

[4] .Ibid, hal. 196